Anakku Lusia, Si Putri Kursi Roda

                                                                   media.istockphoto.com

Terik mentari menembus celah pepohonan tempatku berteduh. Kulirik jam tanganku. Sudah lewat tengah hari. Pintu gerbang sekolah anakku belum jua dibuka. Artinya aku belum boleh masuk menjemput Lusia. Padahal sebentar lagi jeda makan siang di kantorku usai. 

Ah, biarlah aku terlambat. Biarpun anakku sudah bisa pulang sendiri ke rumah kami yang tak jauh dari sekolahnya, aku tak tega membiarkannya sendirian. Aku takut kejadian beberapa hari lalu terulang lagi.

Waktu itu anak-anak nakal mengejek Lusia ketika dia pulang sekolah. "Tuh lihat si Putri Kursi Roda lewat, awas-awas..kena tabrak baru tahu rasa! Ha ha ha...!"

Lusia tak mau cerita padaku tentang kejadian itu. Namun raut wajahnya yang murung berhari-hari tak bisa membohongiku. Setelah kudesak, barulah dia  berkisah dengan berderai air mata.

"Sudahlah Lus, yang penting Mama dan Papa sayang sama kamu. Anak-anak yang mengejekmu belum tentu lebih pintar dan rajin sepertimu," hiburku sembari mengelus-elus rambutnya yang panjang. 

"Ya, Ma...Lusia janji akan jadi anak yang baik dan jadi kebanggaan Mama dan Papa," tuturnya. Aku mengangguk pelan. Anganku melayang ke peristiwa dua belas tahun lalu.

**

Aku dan suamiku duduk terpaku di depan ruang praktik dokter ahli kandungan. Kami harap-harap cemas menanti hasil cek laboratorium. Setelah dua tahun menikah, kami tak jua dikarunai buah hati. Waktu itu memang kami jarang bertemu karena suamiku tugas di luar Jawa. 

Namun lama kelamaan kami mulai menduga bahwa bukan itu yang membuatku belum juga mengandung. Benar saja. Perkataan dokter waktu itu seakan vonis hakim bagiku: aku tak akan bisa mengandung karena suatu kelainan pada rahimku.

Impianku untuk menimang jabang bayi sontak sirna. Hatiku pilu. Semangat kerjaku menurun. Lebih parah dari itu, aku berhenti berdoa. Kenapa Tuhan membiarkanku mengalami semua ini? Apa salahku? Bukankah selama ini aku sudah berusaha jadi istri yang baik bagi suamiku? 

Tiap kali aku melihat rekan kerja atau tetanggaku menimang buah hati mereka, hatiku teriris-iris. Aku merasa diriku bukan wanita sempurna seperti mereka. Kadang kuterisak sembari mengunci diri di kamar.

Untunglah, suamiku selalu menghiburku. "Sayang, kenapa harus sedih? Jangan biarkan dirimu larut dalam tangisan. Kalau Tuhan ijinkan, kita masih bisa jadi orang tua," ujarnya suatu hari. "Ah, jangan beri penghiburan semu untukku," tukasku.

Dengan lembut suamiku menjawab,"Kemarin temanku dari desa menelpon. Dia bilang, ada ibu yang baru saja menyerahkan bayinya.  Wanita itu berkata, dia tak punya biaya untuk membesarkan si bayi. Suaminya buruh. Dia sendiri sibuk mengurus tiga anak yang masih kecil. Tak sampai hati dia menelantarkan si mungil."

Aku mendadak bersemangat lagi. "Tapi...", kata suamiku tanpa mau melanjutkan perkataannya. "Tapi kenapa?," selidikku tak sabar. "Sepertinya bayi itu terlahir lumpuh. Mungkin karena terserang penyakit semasa dalam kandungan," lanjutnya dengan suara lirih.

Aku terdiam. Sejenak aku menghela napas panjang. "Kalau memang ini jalan Tuhan, kenapa tidak? Kita bisa jadi orangtua angkat yang baik untuknya," tuturku.

Keputusan kami mengasuh si bayi bukannya tak mendapat ganjalan. Begitu mendengar rencana kami, sebagian kerabat mengernyitkan dahi dan berkata,"Kenapa kalian tidak pilih anak angkat yang normal saja? Buat apa mencari kesulitan yang bisa dihindari?"

Meski begitu, nuraniku dan suamiku tetap berkata "ya" untuk kehadiran si mungil. Apa pun keadaan fisiknya tak sedikitpun memengaruhi niat kami untuk membesarkannya. Hari demi hari, kami curahkan perhatian dan kasih sayang untuknya. Kami beri dia nama yang indah: Lusia.

Tentu tak mudah membesarkannya dan memberinya pengertian untuk menerima keadaan fisik yang berbeda dari teman-temannya. Syukurlah, Lusia tumbuh menjadi anak yang cemerlang dalam belajar. 

Juara pertama selalu diraihnya. Lebih dari itu, dia dikenal suka menolong dan mudah bergaul. Seringkali teman-teman meminta bantuannya untuk mengerjakan PR.  

**

"Mama... Lusia tadi baca buku bagus," kisah anakku sepulang sekolah. "Tentang apa, Nak?," tanyaku. "Judulnya kalau enggak salah Ensiklopedi Nama Anak. Terus aku cari namaku di situ. Eh, ketemu...!" jawabnya penuh semangat. "Lusia artinya cahaya. Iya kan, Ma?"

Aku tersenyum. "Iya, Nak. Mama kagum pada semangatmu untuk membaca. Sekarang Lusia makan, ya. Mama sudah siapkan soto kesukaanmu. "

"Makasih, Ma. Mama emang baik dan cantik," celetuknya riang.

Sungguh suatu anugerah terindah menjadi ibu, sekalipun bukan ibu kandung, untuk anakku Lusia.

Aku sadar, aku hanyalah perpanjangan tangan Tuhan untuk membesarkan Lusia. Aku tahu, akan tiba saatnya bagiku dan suamiku untuk mempertemukan Lusia dengan ibu yang melahirkannya. Aku bayangkan, saat itu akan menjadi saat yang tak mudah bagi kami semua. Ya, saat yang mengharukan sekaligus membahagiakan.

Dalam doa-doa, kubermohon, "Ya Tuhan, biarlah selama dalam dekapanku, anakku Lusia, si Putri Kursi Roda, jadi cahaya yang memberi kehangatan pada dunia."

Komentar

Posting Komentar